-
-
Menara 165 Lantai 4, Jl. TB Simatupang Kav 1, Kota Jakarta
-
Jika Anda bertanya kepada orang-orang tentang apa perbedaan antara analog dan digital, kebanyakan dari mereka pasti akan menjawab, “Analog itu kuno, digital itu modern.” Hal tersebut tentu saja benar adanya, terlebih lagi jawaban semacam itu sering kali muncul dari iklan tentang teknologi terbaru seperti TV digital, DVD, atau komputer.
Meskipun benar bahwasanya sensor gas analog sudah ada terlebih dahulu sebelum sensor gas digital, namun keduanya tetap memiliki peran penting dalam mendeteksi berbagai gas seperti oksigen, karbon dioksida, metana, dan lainnya. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, tergantung pada penggunaannya.
Perkembangan teknologi detektor gas tidak lepas dari berbagai penemuan, salah satunya dilakukan oleh Naoyoshi Taguchi, seorang pria asal Jepang yang kini menjadi founder dari Figaro Engineering Inc., perusahaan sensor gas asal Jepang yang telah beroperasi selama lebih dari 50 tahun. Pada tahun 1960-an, Taguchi mengembangkan sensor gas elektrokimia yang menghasilkan sinyal listrik analog yang sebanding dengan konsentrasi propana di udara. Di kemudian hari, sensor ini dikenal dengan nama “TGS” (Taguchi Gas Sensors) dan masih banyak digunakan hingga saat ini.
Keunggulan dari sensor gas elektrokimia analog adalah kesederhanaannya: semakin tinggi konsentrasi gas, semakin besar pula sinyal listrik yang dihasilkan, baik dalam bentuk arus atau tegangan. Setelah sensor dikalibrasi, sinyal ini dapat dibaca menggunakan ammeter dan voltmeter untuk mengetahui kadar gas yang ada.
Meskipun sensor yang lebih modern, seperti sensor inframerah non-disipatif (NDIR), menggunakan teknologi yang lebih kompleks, prinsip dasarnya tetap analog. Sensor NDIR bekerja dengan cara mengukur cahaya inframerah yang diserap oleh molekul gas pada panjang gelombang tertentu. Sinyal yang terdeteksi kemudian diubah menjadi sinyal analog, lalu diperkuat, dan akhirnya dikonversi menjadi sinyal digital menggunakan konverter analog-ke-digital (ADC).
Jadi, kesimpulannya adalah meskipun sensor gas terbaru dilengkapi dengan berbagai fitur canggih, namun tetap saja semuanya berawal dari teknologi analog, yang diberikan tambahan ADC sehingga menjadi sensor gas digital.
Konverter analog-ke-digital (ADC) memegang peranan penting dalam sensor gas digital karena dapat mengubah sinyal analog yang dihasilkan oleh sensor menjadi bentuk digital. Proses konversi ini cukup kompleks, tetapi hasil akhirnya berupa deretan angka yang menunjukkan kadar gas, yang mudah diproses oleh mikroprosesor atau komputer.
Pada sensor digital, ADC dan logika yang diperlukan biasanya sudah terintegrasi dalam microchip yang ada di papan sirkuit sensor. Dengan letaknya yang berdekatan, respon dari sensor digital dapat lebih cepat dibandingkan dengan sensor analog. Namun tentu saja, di setiap keunggulan, ada harga yang harus dibayar. Penambahan komponen elektronik ini membuat harga sensor digital lebih mahal jika dibandingkan dengan sensor analog.
Sensor gas analog umumnya menghasilkan salah satu dari tiga jenis sinyal output standar untuk mengirimkan informasi tentang kadar gas di suatu lingkungan. Sinyal-sinyal ini memberikan data yang bersifat berkelanjutan, baik dalam bentuk arus maupun tegangan, yang mana mencerminkan tingkat konsentrasi gas yang terdeteksi oleh sensor. Beberapa jenis sinyal analog yang umum digunakan antara lain:
Sistem ini cukup sederhana, di mana 0V menunjukkan tidak ada gas dan 10V mewakili 100% gas. Biasanya digunakan di sistem HVAC. Namun, kelemahan dari sistem ini adalah output 0V bisa berarti tidak ada gas atau sensor mengalami kerusakan. Sensor jenis ini juga membutuhkan daya tambahan karena rentang tegangan yang lebih tinggi.
Mirip dengan output 0-10V, tetapi lebih cocok untuk penggunaan yang membutuhkan daya lebih rendah. Kekurangan yang sama juga berlaku, meskipun jenis ini lebih cocok jika Anda membutuhkan input/output dengan konsumsi daya yang lebih kecil.
Ini adalah standar industri yang paling sering digunakan, di mana 4mA mewakili 0% gas dan 20mA mewakili 100%. Output ini banyak digunakan di sistem seperti pengontrol PID dan SCADA. Salah satu keuntungan dari sinyal ini adalah jika output berada pada 0mA, itu menandakan adanya masalah pada sensor.
Berbeda dengan sinyal analog, sinyal digital menyampaikan data dalam bentuk angka biner yang mudah diproses oleh komputer atau mikroprosesor. Sinyal digital menawarkan tingkat presisi yang lebih tinggi dan lebih fleksibel, yang mana memungkinkan integrasi sistem yang lebih kompleks dan komunikasi jarak jauh. Berikut beberapa jenis output digital yang sering digunakan dalam sensor gas:
RS-485 memungkinkan banyak sensor (slave) untuk berkomunikasi dengan komputer pusat (master) hanya dengan menggunakan tiga kabel. RS-485 dapat mendukung hingga 32 sensor, dan dengan penggunaan repeater tambahan, sistem ini bisa menangani hingga 256 sensor. Salah satu keuntungan dari RS-485 adalah kemampuannya untuk mentransmisikan data dalam jarak jauh—hingga 1.200 meter—yang sangat cocok untuk jaringan sensor besar.
I2C adalah protokol komunikasi yang banyak digunakan untuk koneksi jarak pendek. Protokol ini lebih sederhana karena hanya membutuhkan dua kabel, yaitu SCL (clock) dan SDA (data). I2C cocok untuk aplikasi yang memerlukan beberapa perangkat untuk berbagi data, seperti sensor, kartu memori, atau layar.
RS-232 adalah standar yang banyak digunakan untuk output digital, di mana data ditransmisikan melalui dua kabel dengan tegangan positif dan negatif, yang kemudian diubah menjadi angka biner 0 dan 1. Keuntungannya adalah memungkinkan komunikasi dua arah, sehingga sensor bisa dikonfigurasi atau dikalibrasi dari jarak jauh. Namun, RS-232 terbatas untuk komunikasi point-to-point, artinya hanya satu perangkat yang bisa terhubung pada satu waktu. Meskipun USB sekarang lebih banyak digunakan di komputer modern, RS-232 masih banyak digunakan untuk koneksi jarak pendek dengan kecepatan rendah.
Modbus adalah protokol komunikasi yang sering dipakai dalam sensor gas untuk mengirimkan data digital. Modbus adalah standar open-source yang memungkinkan banyak perangkat untuk berkomunikasi dalam jaringan industri. Modbus dapat digunakan dengan RS-485 atau RS-232, memungkinkan banyak sensor (slave) dapat dikelola oleh komputer pusat (master) hanya dengan menggunakan satu kabel atau jaringan yang sama.
Sebelum memilih sensor gas, ada baiknya untuk mengetahui jenis output sinyal apa yang didukungnya. Sensor elektrokimia standar biasanya hanya menyediakan output 4-20mA, sementara sensor yang lebih canggih lebih sering menawarkan output analog dan digital.
Berdasarkan pengamatan kami, sensor dengan output RS-232 memberikan fleksibilitas terbesar karena dapat dengan mudah terhubung ke PC, port USB, atau mikroprosesor seperti Raspberry Pi dan Arduino. Untuk penggunaan yang lebih besar yang membutuhkan komunikasi jarak jauh atau banyak sensor, model dengan output RS-485 dan Moodbus menawarkan solusi yang lebih efisien dan scalable.